Rabu, 12 Oktober 2016

Makalah Dasar Keagamaan NU


DASAR KEAGAMAAN NU

Di Susun Guna Melengkapi Mata Kuliah
Filsafat Agama

Dosen Pengampu :

MA’AS SHOBIRIN, M.Pd




Di Susun Oleh :

Lukman Hakim          153040038




PRODI TEKNIK INFORMATIKA
UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
2015

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah tepat pada waktunya. Penulis menyusun makalah ini berdasarkan sumber yang terpercaya, serta melalui ilmu yang sudah di serap selama penulis mengenyang pendidikan.
            Dalam menyusun makalah ini, penulis banyak memperoleh referensi dari berbagai sumber. Oleh karena itu, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada sumber-sumber yang telah memberikan informasi kepada penulis, khususnya kepada :
1.      Bapak Ma’as Shobirin, M.Pd, selaku dosen mata kuliah “Filsafat Agama” yang telah memberikan tugas membuat makalah ini, serta memberi arahan kepada penulis dalam penyusunan makalah dengan baik.
            Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, oleh karena itu penulis mengharap kritik dan saran yang konstruktif dari semua pihak yang membutuhkan makalah ini. sebagai akhir kata, penulis berharap, semoga makalah ini dapat memberi manfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Wassalamualaikum Wr. Wb

Semarang, 13 Oktober 2015


                                                                                                               Penulis
DAFTAR ISI






















BAB I
PENDAHULUAN
1.1       Latar Belakang
NU mendasarkan faham keagamaan kepada sumber ajaran Islam Alquran, Al Hadits, Al Ijma’ dan Al Qiyas dalam memahami dan menafsirkan Islam dari sumbernya tersebut, NU mengikuti Faham Ahlusunnah Wal Jamaah dengan menggunakan jalan pendekatan (Al Madzhab) di bidang Aqidah NU mengikuti ajaran yang dipelopori oleh Imam Abu Mansur Al Maturidi, dibidang fiqih NU mengikuti jalan pendekatan salah satu dariMuhammad bin Idris Assyafii dan Imam Ahmad bin Hambal, dibidang tassawuf NU mengikuti antara lain Imam Junaidi Al bagdadi dan Imam Al ghazali serta Imam imam yang lain.
NU mengikuti pendirian bahwa, Islam adalah agama yang fitri, yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki manusia. Faham keagamaan yang dianut oleh NU bersifat menyempurnakan nilai nilai yang baik yang sudah ada dan menjadi ciri-ciri suatu kelompok manusia, seperti suku maupun bangsa dan tidak bertujuan menghapus nilai nilai tersebut.[1]
1.2       Rumusan Masalah
1.      Apa yang menjadi sumber dasar NU?
2.      Apa arti penting pembentukan NU?
3.      Apa itu Ahlussunnah Wal Jamaah?
4.      Apa yang menjadi sumber dasar NU?
1.3       Tujuan Dan Manfaat
A.    Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah :
1.      Mengajarkan nilai kebaikan dalam NU.
2.      Memperkenalkan apa itu NU.
3.      Menjelaskan dasar keagamaan NU.
B.     Manfaat
Manfaat dari makalah ini adalah :
1.      Memberikan ilmu seputar NU.
2.      Memperkenalkan faham Ahlussunnah Wal Jamaah.
3.      Memberikan penjelasan mengenai sumber dasar NU.

















BAB II
PEMBAHASAN
DASAR KEAGAMAAN NU
2.1   Sejarah Singkat Berdirinya NU
Pendiri dari organisasi NU ini adalah KH Hasyim Asy'ari. dilahirkan pada tanggal 10 April 1875 atau menurut penanggalan arab pada tanggal 24 Dzulqaidah 1287H di Desa Gedang, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Beliau tutup usia pada tanggal 25 Juli 1947 yang kemudian dikebumikan di Tebu Ireng, Jombang.
NU (Nahdlatul Ulama) telah ada dalam bentuk komunitas (jama’ah) yang  diikat oleh aktivitas sosial keagamaan yang memppunyai karakter ASWAJA (Ahlussunnah Wal Jamaah). Wujud sebagai organisasi tak lain adalah penegas formal dari mekanisme informal para ulama.
Arti penting dibentuk organisasi ini tidak lepas dari konteks waktu itu, terutama berkaitan dengan upaya menjaga eksistensi jamaah tradisional berhadapan dengan arus paham pembaharuan Isalam, yang ketika itu telah terlembagakan, antara lain dalam Muhammdiayah.
Arti penting lain pembentukan NU adalah berkaitan dengan upaya pemupukan semangat nasionalisme di tengah iklim kolonialisme saat itu. Sulit dibantah bahwa perlawanan terhadap kekuasaan kolonial Belanda tidak hanya membawa wacana politik tapi juga keagamaan. Dalam wacana keagamaan itulah peran kepemimpinan ulama menjadi penting (sebut saja Perang Diponegoro 1825-1830, Perang Paderi 1321-1837, perlawanan rakyat Aceh 1872-1912). Ketika pada abad XX nada perlawanan terhadap penjajah bergeser dari perjuangan bersenjata menjadi pergerakan nasional, para ulama tidak mau ketinggalan. Sepuluh tahun sebelum berdirinya NU, KH Wahab Hasbullah mendirikan Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air) yang berusaha menum buhkan rasa nasionalisme melalui pendidikan. Organisasi ini adalah langkah kongkret dari forum diskusi Taswirul Afkar (konsepsi pemikiran) yang sebenarnya merupakan antisipasi Wahab Hasbullah menghadapi ekses gerakan pembaharuan yang menjadi ancaman bagi eksistensi tradisi Ahlussunnah wal Jamaah.
Latar belakang lahirnya NU ini perlu memperoleh perhatian, sebab karakteristik organisasi ini lebih berakar di sini. Satu hal perlu dicatat dan proses kelahiran yang pada hakekatnya merupakan reaksi terhadap arus pembaharuan Islam dan situasi kolonialisme tersebut, yakni bahwa pola perilaku reaktif semacam itu ternyata menjadi inheren dalam dinamika NU selanjutnya. [2]

2.2  Faham Keagamaan
Nahdlatul Ulama (NU), menganut paham Ahlusunnah Wal Jama’ah. Yaitu sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim (skripturalis).
Dalam bidang Fiqih NU mengikuti empat madzhab, yaitu ; Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali ke khittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil membangkitkan kembali gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.[3]
2.3  Peran NU di Masyarakat
Nahdlatul Ulama (NU)  organisasi yang sudah memiliki pengalaman dan sejarah panjang dalan memberikan pelayan terhadap masyarakat Indonesia.   NU ikut mengarsiteki pembangunan sumber daya manusia pada masyarakat melalui pendidikan, pelayanan kesehatan, pemberdayaan ekonomi dan keagamaan pada masyarakat tradisional atau pedesaan. Sehingga sebenarnya bisa dikatakan jika menilai dari bentuk basis masyarakat yang diberdayakan, maka NU memiliki beban lebih berat. Hal ini tak lepas dari mayoritas penduduk Indonesia tinggal di daerah pedesaan yang memiliki mata pencaharian sebagai petani, nelayan, dan buruh adalah masyarakat        menengah kebawah.
Dari aspek tersebutlah peran NU sebagai agen gerakan pemberdayaan masyarakt sipil harus terus memiliki strategi dalam mengupayakan peningkatan-peningkatan ketahanan ekonomi masyarakat. Namun tentunya gaya NU dalam memberikan pelayanan dan mendampingi masyarakat dalam memperoleh hak-haknya dari kekuasaan negara tak melepaskan dari prinsip aqidah ahlusunnah wal jama’ah  (aswaja). Posisi ini tetap akan menjadikan perjuangan NU dalam mewujudkan kebaikan masyarakat (Khoiron Ummah). Apalagi platform yang menjadi landasan semangat perjuangan sebagai gerakan sosial-keagamaan adalah Islam. Dengan konsep pemahaman Islam sebagai agama fitrah dan rahmat bagi semesta alam tentunya tidak hanya mengurusi hubungan masyarakat muslim (ukhwah Islamiyah) tapi juga hubungan antar manusia (ukhuwah bashariyah).[4]
2.4  Dasar Keagamaan NU
NU memiliki dasar keagamaan yang berpedoman pada empat sumber. Keempat sumber itu adalah :
a.       Al-Quran
Al-Qur’an adalah dasar hukum yang pertama dan utama dalam Islam. Karena itu setiap muslim harus menerima bahwa asas yang pertama dan terkuat untuk menentukan hukum Islam adalah Al-Qur’an.
b.      Al-Hadits atau As-Sunnah
Al-hadits atau As-Sunnah meliputi sunnah Qauliyan, Fi’liyah, dan sunnah Taqririyah. Dalam agama Islam al-Hadits atau as-Sunnah mempunyai peran yang sangat penting dan merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Qur’an.
c.       Ijma’
Ijma’ Yaitu kesepakatan para ulama’ mujtahid mengenai suatu hukum ijma’ baru dapat dipergunakan sebagai dalil terhadap suatu perkara sesudah ternyata tidak ditemkan nash Al-Qur’an maupun Al-Hadits. Ijma’, ada beberapa macam diantaranya ijma’ sharih, ijma’ sukuni, ijma’ sababy, ijma’ khalifah empat, dan lain-lainnya.
d.      Qiyas
Qiyas adalah menyamakan suatu masalah yang belum diketahui hukumnya, karena diantaranya terdapat kesamaan (illat) yang menjadi dasar penentu hukum.
Berdasarkan pengertian diatas, maka dalam mengqiyaskan suatu hukum harus diperhatikan empat hal, yaitu :
1.      Alas, Asal adalah sesuatu yang sudah ada nash hukumnya yang menjadi ukuran atau tempat menyerupakan.
2.      Far’un, Far’un yaitu sesuatu yang belum diketahui hukumnya dan dimaksudkan untuk diukur atau diserupakan dengan hukum asal.
3.      Hukum asal, yaitu hukum syara’ yang terdapat pada asal dan dimaksudkan menjadi hukum bagi far’un.
4.      Illat yaitu sebab yang menggabungkan atau menghubungkan antara asal (pokok) dengan fa’run (cabang).[5]

BAB III
PENUTUP
3.1        Kesimpulan
NU merupakan sebuah organisasi yang tidak seenaknya saja dalam memandang dan menilai berbagai hal. Mengacu pada sumber seperti Al-Quran, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Menjadikan NU sebagai organisasi yang lebih mengutamakan sumber yang ada dalam menilai suatu hal yang terjadi di lingkungan sekitar.
Selain itu, NU juga mengajarkan untuk tidak menilai baik-buruknya suatu perbuatan tanpa di dasari oleh hukum dan sumber terkuat.













DAFTAR PUSTAKA
Karin, A. Gaffar, Metamorfosis Nu Dan Politisasi Islam  Di Indonesia. Pustaka NU Online.

Share:

Translate

Labels